Seharusnya tulisan ini saya tulis di akhir tahun 2014 yang lalu ketika Pemerintah Daerah bersiap-siap untuk menerapkan Standar Akuntansi Berbasis Akrual di tahun 2015. (Meskipun setahu saya beberapa daerah sudah melaksanakan selama beberapa tahun) Tapi tak apalah, toh isi dari tulisan ini masih relevan untuk saya bahas. Namun dengan satu catatan penting untuk para pembaca ketahui, tulisan ini dimaksudkan hanya untuk menghibur diri saya dari segala bentuk rutinitas pekerjaan. Dan satu lagi, semua isi tulisan ini hanyalah hal kecil yang suka saya besar-besarkan.
Saya mulai dengan sebuah kalimat, “Jika bisa dipermudah kenapa harus dipersulit?” Kalimat itu muncul di dalam kepala saya ketika melakukan mapping kode rekening Permendagri 21 Tahun 2011 ke kode rekening Permendagri 64 Tahun 2013 pada aplikasi SIMDA Keuangan. Masih ada mapping yang lain yaitu, mapping kode rekening Permendagri 21 Tahun 2011 ke kode rekening SAP (Standar Akuntansi Pemerintahan). Semua mapping tersebut diperlukan karena kode rekening antara penganggaran dan penatausahaan (Permendagri 21 Tahun 2011) dengan pelaporan (Permendagri 64 Tahun 2013 dan SAP) berbeda. Kadang saya bertanya, kenapa semua kode rekening tersebut tidak disamakan dari penganggaran sampai dengan pelaporan? Maklum saya kadang malas dalam urusan per-mapping-an, karena sering dibingungkan dengan pertanyaan, kode rekening ini mapping-nya ke kode rekening yang mana? Kok nggak ada? Solusinya adalah tambahkan! Sekian, dan masalah pun beres. Selama ada aplikasi yang membantu, masalah mapping bukanlah bisa disebut sebagai sebuah masalah. Tapi entah kenapa ‘hati nurani‘ (baca: pola pikir seorang programmer yang ingin semua hal terstruktur dengan amat sangat rapi) saya masih belum bisa terima. Sekali lagi kalimat itu muncul lagi di dalam kepala saya. “Jika bisa dipermudah kenapa harus dipersulit?”. Akan terasa lebih mudah jika seluruh alur pengelolaan keuangan daerah memiliki satu standar kode rekening, saya istilahkan dengan ‘Bagan Akun Emang Standar Dari Awal Sampai Akhir‘. Saya nggak bakalan pusing-pusing lagi me-mapping.
Mungkin akan ada satu waktu ketika saya dimintai Laporan Realisasi Anggaran (anggap saja seseorang yang awam dengan keuangan daerah), saya mungkin akan balik bertanya, “Format SAP atau Permendagri?”, lalu yang minta nanya lagi, “Bedanya apa?”. Dan saya harus menjelaskan ya itu tadi, mapping. Mungkin orang itu akan bertanya lagi, “Bagusan yang mana?”. What the … Dengan rasa sabar yang sudah tipis saya jawab, “Bagusan bapak yang keluar dari sini. Pintu keluarnya ada di sana. Toilet sebelah kiri.” “Terima kasih.”
Mungkin mapping yang paling bikin pusing adalah mapping rekening Belanja Modal pada Permendagri 21 Tahun 2011 dengan rekening Belanja Modal di Permendagri 64 Tahun 2013 (yang strukturnya sangat mirip kode aset Permendagri 17 Tahun 2007). Saya nggak berani bilang keduanya benar-benar nggak nyambung, karena sesuatu yang dipaksakan akan nyambung juga meski terasa nggak nyaman. Bagi pengguna SIMDA BPKP, hal ini sudah disiasati dengan memodifikasi kode rekening Belanja Modal Permendagri 21 Tahun 2011 biar sinkron dengan Permendagri 64 Tahun 2013 (terima kasih untuk BPKP yang sudah berpikir keras untuk ini).
Saya menemukan beberapa hal yang sedikit tidak sinkron. Misalnya, Honorarium PNS, Honorarium Non PNS, Uang Lembur, dan Uang untuk diberikan kepada pihak ketiga/masyarakat yang pada Permendagri 21 Tahun 2011 berada di Belanja Pegawai, namun di Permendagri 64 Tahun 2013 pasangannya ada di Belanja Barang dan Jasa. Tapi sudahlah, sekali lagi anggap saja bukan hal yang besar, apalagi dibesar-besarkan, meski kadang terasa sedikit mengganjal. Yang menjadi pertanyaan adalah, belanja-belanja tersebut cocoknya ada di mana? Belanja Pegawai atau Barang Jasa? Sebenarnya saya ingin membahasnya dari segi definisi, tapi berhubung saya sudah capek mengetik, saya akhiri saja tulisan ini.
Saya akhiri tulisan ini dengan satu pertanyaan, “Perlu nggak sih Bagan Akun Standar yang sama dari penganggaran, penatausahaan, sampai dengan pelaporan?” Sekian dan terima kasih.